Jumat, 23 Juni 2017

MENCIPTAKAN KOMUNITAS YANG LOYAL

Menciptakan Komunitas yang Loyal


   Ada masa dalam hidup, ketika saya sangat mengagumi Gabriel Batistuta. Ya, ia adalah
pemain sepakbola berambut gondrong asal Argentina yang bergabung untuk Klub
Fiorentina. Sepanjang ingatan saya, klub ini jarang memperoleh ranking yang baik di Serie
A Liga Italia.

   Terlepas dari prestasi klubnya yang kurang menonjol, bahkan beberapa kali terperosok ke
zona degradasi, saya melihat Batistuta sebagai figur yang karismatik. Aksinya ketika
meliuk mengecoh pemain belakang lawan, serta tendangan-tendangan kanon-nya sering
membuat saya terpana di depan layar TV. Mengenai kekaguman ini, saya tidak sendirian.
Di kota Florence, Batistuta dipuja bagai dewa, sehingga kabarnya masyarakat membuat
patungnya didirikan megah di pusat kota.

   Dalam beberapa hal, saya yakin Anda pun pernah memiliki kekaguman serupa dengan
beberapa public figure. Salah seorang rekan saya sangat mengagumi Dian Sastro, ada
yang sangat kagum dengan Emha Ainun Najib, bahkan saya pernah melihat ibu-ibu yang
rela ikut marah-marah dan membela Roy Marten karena merasa disudutkan dengan
pemberitaan miring oleh sebuah acara infotainment.

   Pembelaan pelanggan terhadap perusahaan pada hakekatnya berada pada sisi yang
berbeda dengan kualitas dari objek yang dibela. Tidak selamanya mereka yang dibela
memiliki kualitas yang baik. Saya tahu betul bahwa bobotoh Persib Maung Bandung akan
tetap menjadi pembela tim biru ini, walaupun mereka dikalahkan oleh lawannya. Saya rasa
adalah menjadi impian setiap pemasar untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang mau
membela (advocate customer) dan memiliki kedekatan dengan perusahaan.

   Perasaan dekat seperti ini adalah perasaan dimana kita secara emosional terlibat untuk
menyenangi atau memilih. Perasaan inilah yang kemudian diberi nama sebagai Loyalitas.
Loyalitas sebenarnya diindikasikan dengan adanya perasaan terikat dengan suatu produk
atau perusahaan, bukan hanya seberapa sering pembelian terjadi, atau seberapa lama
seseorang menjadi pelanggan. Bahkan lebih dari itu, bukan seberapa besar kepuasan
seorang pelanggan pada perusahaan kita.

   Pada dasarnya, kepuasan pelanggan tidak selamanya berubah menjadi loyalitas. Saya
sering menemui rekan-rekan saya terbang untuk berbisnis di berbagai penjuru Indonesia
menggunakan maskapai penerbangan yang mereknya sayup-sayup terdengar, bukan karena
tidak puas dengan Garuda Indonesia. Namun demikian kiranya jelas bahwa tanpa produk
dan layanan prima, yang mendorong kepuasan, akan berat tugas seorang pemasar dalam
membangun loyalitas. Kepuasan adalah syarat bagi munculnya Loyalitas.

   Untuk mengubah kepuasan pelanggan menjadi Loyalitas diperlukan beberapa langkah yang
dapat “mengikat” pelanggan agar selalu setia pada perusahaan. Beberapa perusahaan
menawarkan hadiah-hadiah dan undian. Ya, kita dapat mengikat pelanggan dengan
memberikan reward berupa keuntungan finansial, suatu bahasa yang dipahami secara luas
oleh umat manusia. Berikan penghargaan pada nasabah yang memiliki jumlah simpanan
terbanyak, sehingga ada bedanya antara mereka yang setia. Pemberian hadiah, diskon,
serta produk bundling yang dimaksudkan untuk memberi penghargaan bagi pelanggan yang
telah membeli ini disebut sebagai Ikatan Finansial (financial bonding).

   Ikatan kedua adalah dengan menggunakan sisi emosional dari pelanggan. Kita dapat
menyentuh nilai-nilai mendasar dari diri manusia untuk memicu loyalitas. The Body Shop
telah bertahun-tahun secara konsisten mengusung tema Green Product, produk
tetumbuhan yang ramah dengan lingkungan dan menentang percobaan pada hewan. Bagi
sebagian orang nilai-nilai ini adalah nilai dasar yang patut dibela, demikian pula
perusahaan yang menganutnya.

   Sisi emosional dapat disentuh dengan memberikan penghargaan yang sifatnya beyond
financial. Bagi para wanita, tidaklah ada momen yang lebih menyentuh daripada beberapa
kuntum mawar merah dengan sepucuk kartu ucapan terikat pita emas di ujungnya, di hari
ulang tahun. Beberapa perusahaan mencatat hari ulang tahun pelanggan utamanya sebagai
aset besar pemicu loyalitas. Perasaan menjadi bagian dari satu komunitas, atau yang oleh
Maslow disebut sebagai the needs to love and belonging, seringkali menjadi alasan
mengapa pelanggan tidak berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan pesaing, walaupun
harga pesaing lebih murah, bahkan jika pelayanan pesaing lebih baik.

   Ikatan ketiga yang sering dianggap orang sebagai ikatan paling kuat adalah ikatan
struktural (structural bonding)
, dimana perusahaan membangun sesuatu yang melibatkan
investasi untuk menjamin kustomisasi layanan pada pelanggan. Ada sebuah perusahaan
kargo yang saya kenal membuka kantor agen pengiriman di sebelah gudang pelanggan
utamanya agar dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat. Sebuah bank dapat
memberikan ikatan struktural dengan cara membuka ATM di daerah yang dekat dengan
pelanggan utama, menginvestasi mesin agar dapat melakukan pembayaran menggunakan
kartu, dan investasi lain yang menjaga pelanggan untuk berpaling ke lain hati.

   Demikianlah untuk menciptakan komunitas yang loyal, suatu perusahaan hendaknya tidak
hanya berfokus pada produk dan layanan yang baik, namun perlu cantik dalam mengemas
ikatan finansial, emosional dan struktural. Agar siapa tahu perusahaan muncul di acara
infotainment, ada banyak orang yang membela.

   Ikatan apa kiranya yang relevan kita pakai kepada para customer kita? Seyogianya
mereka-mereka yang ada di jajaran depan (sales) dapat memberi masukan tentang
character dari para customer kita, yang oleh management akan di transfer kedalam
“bahasa” yang dimengerti oleh para customer tersebut. Selamat mencoba.


HR Training – PT OSRAM Indonesia

BUDAYA ORGANISASI, MEMANGNYA PENTING ?

Budaya organisasi, memangnya penting?

   Secara umum, perusahaan atau organisasi terdiri dari sejumlah orang dengan latar
belakang, kepribadian, emosi, dan ego yang beragam. Hasil penjumlahan dan interaksi
berbagai orang tersebut membentuk budaya organisasi. Secara sederhana, budaya
organisasi dapat didefinisikan sebagai kesatuan dari orang-orang yang memiliki tujuan,
keyakinan (beliefs), dan nilai-nilai yang sama.


   Pada awalnya budaya organisasi dibangun oleh tujuan, keyakinan, serta nilai-nilai para
pendirinya. Misalnya, perusahaan Hewlett-Packard (HP) yang terkenal dengan “HP-way”-
nya. Bangunan dasar budaya organisasi HP yang cenderung konservatif, kekeluargaan,
namun sangat menjunjung tinggi inovasi ini dibangun oleh kedua pendirinya Bill Hewlett
dan Dave Packard pada 1957. Dalam perjalanan, budaya organisasi kemudian mungkin
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan karakteristik orang-orang di dalam
perusahaan.
 

   Budaya organisasi terdiri dari berbagai aspek dan aspek yang paling penting dan dalam
adalah nilai. Sesuatu yang dipercayai sebagai suatu kebenaran. Namun untuk menangkap
nuansa budaya suatu organisasi, kita dapat melihat indikator-indikator yang kasat mata.
Misalnya bila datang ke kantor perusahaan farmasi terkemuka Dexa Medica di Jakarta
Selatan, tamu akan langsung berhadapan dengan ruangan yang terang, penuh warna, dan
hiasan kapsul warna-warni serta contoh produk-produknya yang terkini.
 

   Hal ini jauh berbeda dengan kantor sebuah perusahaan farmasi lain – kebetulan milik
pemerintah – yang didominasi warna kelabu. Belum lagi dengan perilaku petugas
keamanannya yang memperlakukan setiap tamu bak teroris atau calon maling serta
resepsionis yang asyik mengobrol dengan telepon genggamnya. Nilai-nilai apa yang
melandasi perilaku seperti itu?
 

   Indikator lain budaya organisasi yang dapat segera ditangkap adalah bahasa yang
digunakan. Bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Indonesia ‘gaul,’ atau bahasa daerah.
Atau artifak pelengkap seperti kartu nama. Misalnya, kartu nama para eksekutif di
perusahaan iklan Fortune Indonesia tidak berbentuk persegi pada umumnya namun
berbentuk roket dengan bagian punggung yang berwarna cerah. Selalu siap melesat ke
angkasa!
 

   Di perusahaan air minum Aqua, kartu nama para eksekutif tidak ada bedanya. Bandingkan
dengan kartu nama para eksekutif sebuah perusahaan asuransi yang membedakan secara
tegas antara direksi (warna emas), manajer senior (warna perak), manajer (warna biru
metalik), dan lainnya. Tampaknya perbedaan status atau jabatan merupakan hal yang
penting di sini.


Nilai-nilai

 
   Lebih dalam dari indikator-indikator yang kasat mata, memang keyakinan dan nilai yang
menjadi bagian terdalam dari budaya - bukan kebudayaan! – suatu organisasi. Manajemen
senior sangat bertanggungjawab untuk menciptakan budaya organisasi yang sesuai dengan
kebutuhan bisnis dan memberikan pesan yang kuat pada pihak-pihak eksternal.
   

Nilai-nilai yang dipandang sangat penting perlu ditanamkan dalam bentuk memberikan
contoh-contoh. Misalnya, manajemen dan karyawan perusahaan kosmetika The Body Shop
turut dalam kegiatan jalan bersama untuk memperkuat tuntutan agar RUU antikekerasan
domestik dapat disahkan segera oleh DPR. Hal ini juga menunjukkan komitmen pada
keyakinannya agar kekerasan pada perempuan dapat diminimalkan.
 

   Budaya organisasi dilestarikan dengan berbagai cara. Misalnya melalui seleksi dan
rekrutmen, sosialisasi pada karyawan baru, pola pembinaan bawahan, serta perilaku dan
pola interaksi orang-orang di perusahaan. Budaya organisasi dapat digambarkan seperti
sebuah botol yang di dalamnya berisi benda-benda dengan berbagai bentuk. Seluruh
benda masuk ke dalam botol dan menempati posisinya.
 

   Bila seorang pendatang baru adalah bola gendut yang diameternya jauh lebih besar
dibandingkan botol, maka ia perlu mengecilkan diri atau perlu ditekan agar dapat masuk
ke dalam botol. Sudah di dalam, boleh jadi ia akan terjepit dan sesak nafas. Lalu jalan
keluarnya, bertahan mati-matian dengan cara mendesak dinding botol atau mendesak
benda-benda lain, kempes, atau berusaha keluar.
 

   Analogi budaya organisasi dengan botol juga dapat menjelaskan mengapa banyak
perusahaan sulit melakukan perubahan. Kalau botol – maksudnya budaya organisasi – tidak
diubah, segala upaya perubahan yang dilakukan menjadi percuma. Seluruh benda dalam
botol tersebut perlu bekerja sama sekuat tenaga untuk mendesak botol tersebut agar
berubah dan memberi ruang bagi perubahan.
 

   Jadi, jangan sampai menunggu terdesak untuk berubah. Bayangkan saja budaya dengan
karakteristik kebersamaan, kekeluargaan, tenang, dan serba terkendali tiba-tiba harus
berubah menjadi penuh persaingan, sarat inovasi, dan dinamis. Perubahan budaya
organisasi yang dilakukan secara inkremental dan dalam waktu yang panjang (evolusioner)
lebih mudah dikendalikan dan diterima oleh anggota organisasi. (HR Training – PT OI)